The Warren Buffett of Saudi Arabia. Itulah julukan yang diberikan Majalah Time kepadanya. Mungkin karena dia adalah investor tersukses setelah Buffett. Atau mungkin juga, karena dia jauh lebih muda ketimbang Sang Peramal dari Omaha.
Kendati demikian, bisa dipastikan, lelaki energik yang dikenal sebagai Pangeran Alwaleed itu bukanlah sekadar seorang peniru. Maklum, Alwaleed mengibarkan diri ke peringkat lima jajaran orang terkaya sejagat versi Forbes dengan caranya sendiri. Langkah yang dia ayun sering terlihat nekat, tak terpikirkan oleh kebanyakan investor kawakan sekalipun, tetapi kemudian terbukti brilian.
Alwaleed meraup miliar dolar pertamanya melalui investasi US$ 590 juta di saham Citicorp, ketika kampiun industri perbankan itu terpuruk pada 1991. Saat ini, investasinya itu telah bernilai 17 kali lipat. Dan itu bukan sebuah kebetulan. Semua investor melihat peluang yang sama. Toh, hanya Pangeran dari Negeri Gurun itulah yang berani mempertaruhkan kekayaannya pada nama besar Citicorp yang sedang terjerembab ke lumpur kerugian yang luar biasa dalam.
Kenyataan bahwa belasan tahun setelah itu Alwaleed masih menabur asetnya secara sistematis di pasar kapital seluruh dunia, membentuk kerajaan investasi yang menghimpun nama-nama perusahaan global beken di portofolionya yang bernilai lebih dari US$ 25 miliar, membuktikan bahwa dia bisa disejajarkan dengan para kampiun bisnis global kelas atas. Kalau kita perhatikan, jajaran orang terkaya di dunia bisa dibagi menjadi dua golongan. Di satu kubu adalah para pendiri kerajaan bisnis semacam Bill Gates dan Michael Dell. Alwaleed termasuk golongan kedua, sekubu dengan orang-orang seperti Buffett dan Philip Anschutz, yang kepiawaiannya bukan mengembangkan kerajaan bisnis melainkan membiakkan kapital.
Para pendiri kerajaan bisnis umumnya punya nama lebih besar. Namun kalau dikaji lebih dalam, orang-orang yang ikut mengarahkan agar kapital mengalir ke tempat yang paling produktiflah — para investor — yang memungkinkan para kaisar bisnis itu berkibar. Dan, sebagai salah satu dari sedikit investor global, Alwaleed ikut mendorong aliran kapital tersebut di seluruh dunia: Amerika Utara, Asia, Eropa, Afrika, dan tentu saja Timur Tengah.
Tak punya latar belakang pendidikan seperti Buffett, bisa dipastikan Alwaleed tak sepiawai bos Berkshire Hathaway itu dalam menganalisis pasar uang dan sekuritas. Dia tentunya pula tak punya keahlian teknologi Gates atau Dell. Namun, terbukti dia cukup pintar untuk menubruk 6,2 juta saham Apple Computer Inc. pada Maret 1997 ketika saham perusahaan komputer itu jeblok ke posisi US$ 18/lembar. Hanya dalam tempo 30 bulan, Desember 1999, saham Apple meroket jadi US$ 96/lembar, membuat Alwaleed menangguk capital gains hampir US$ 500 juta. Saat ini, dengan sukses iPod yang luar biasa, gain yang dinikmati Alwaleed dari 5% saham Apple yang dia kuasai tentu sudah dalam hitungan miliaran US$.
Patut dicatat, ketika Alwaleed memborong saham Apple melalui Kingdom Holdings Co. — perusahaan investasi yang 100% sahamnya dia kuasai — Jobs masih sibuk dengan NeXT dan Pixar. Pendiri Apple itu baru duduk sebagai CEO ad interim beberapa bulan kemudian, Juli 1997. Dan, setelah Jobs masuk, saham bersimbol AAPL itu masih diemohi banyak investor.
Alwaleed, lagi-lagi, "hanya mujur?", ujar Sandy Weill yang ketika dikutip oleh Kantor Berita Fortune pada Desember 1999 masih Co-CEO Citi, "You sure can, argue with results". Siapa coba, yang meragukan hasil kerja Alwaleed. Bukankah waktu itu para investor lain punya peluang yang sama buat meraup gain besar?
Pada Oktober 1997, ketika pasar saham hi-tech terus terpuruk, Alwaleed kembali mempertaruhkan jutaan US$ untuk memborong saham Netscape dan Motorola. Langkah ini, terutama pembelian 6 juta saham Motorola seharga US$76, dinilai banyak analis sebagai blunder besar karena dalam tempo 12 bulan nilainya anjlok jadi US$ 38/lembar.
Akan tetapi, sim salabim, tak lama kemudian Alwaleed mengantongi gain US$ 82 juta lebih. Saham perusahaan yang tadinya terpuruk karena produknya — cip dan pesawat ponsel — yang payah dan manajemennya salah urus, pada awal November 1999 meroket jadi US$ 90. Saat ini, sukses mengibarkan diri sebagai produsen ponsel kedua terakbar di dunia (hanya kalah dari Nokia), bisa dibayangkan besarnya gain yang ditangguk Alwaleed dari 1% saham Motorola yang dia kuasai.
Akan halnya Netscape, begitu empat juta lebih sahamnya senilai US$ 130 juta masuk portofolio Kingdom Holdings, juga oleng diempas Microsoft yang membagikan secara gratis browser Internet Explorernya dalam paket Windows. Alwaleed terus mempertahankannya. Dan benar saja, saham tersebut mulai melejit ketika AOL, pada musim gugur 1998 mengumumkan rencana stock swap. Memasuki musim semi 1999, ketika deal bisnis itu rampung, saham Netscape Alwaleed telah menjadi 4 juta saham AOL yang di penghujung tahun itu bernilai US$ 600 juta. Saat ini, dari sekitar 1% saham AOL Time/Warner yang dikuasainya, Alwaleed bisa dipastikan telah menikmati gain miliaran US$.
Kalau dibedah, ada dua hal yang menonjol dalam portofolio Alwaleed. Pertama, sampai 1999, sebagian besar yang dia pegang adalah saham media, teknologi dan perbankan. Sampai saat ini, 150 juta lembar (setara 4,4%) saham Citicorp yang pada 1999 saja bernilai US$ 8 miliar, dan sekarang US$ 10 miliar lebih, merupakan kue paling gemuk dalam portofolionya. Sang Pangeran juga banyak memegang saham rantai perhotelan mewah.
Kegandrungan Alwaleed terhadap saham teknologi menunjukkan bahwa strategi The Warren Buffett of Saudi Arabia ini sebenarnya "anti-Buffett". Sang Peramal dari Omaha ini, walau bersahabat dengan Gates, mengaku terus terang sebagai seorang technophobe alias investor yang alergi terhadap saham teknologi yang diakuinya tak dia pahami. Masih kurang? Alwaleed juga diketahui pada musim gugur 2001 melepas saham Gillete (US$ 55 juta) dan Coca-Cola (US$ 63 juta) yang merupakan saham favorit Buffett (yang menjadi komisaris di kedua perusahaan itu). Selanjutnya, Maret 2002, Alwaleed memborong saham Citi senilai US$ 1 miliar, sementara Buffett justru menjual seluruh saham bersimbol C yang dia pegang senilai US$ 110 juta.
Hal kedua yang menonjol dan lebih menarik adalah strategi Alwaleed sebagai seorang value investor. Sang Pangeran selalu memilih saham-saham yang tumbuh, growth stocks, utamanya saham perusahaan dengan nama besar ketika harganya sedang jatuh. Dia tak pernah tertarik pada, misalnya, saham produsen metal yang kelihatannya murah tapi harganya mandek. Sang Pangeran dari Negeri Minyak ini bahkan tak pernah melirik saham industri migas yang menurut pengakuannya, tak dia pahami.
Apakah Alwaleed memilih saham-saham teknologi, media, perbankan, dan perhotelan secara sengaja? "“Ya dan tidak", jawabnya. "Saya mengambil saham-saham tersebut karena perusahaannya. Saya selalu cari hal yang sama: perusahaan global dengan brand name yang pada dasarnya sehat tetapi sedang gonjang-ganjing. Pertimbangan inilah yang membuat saya memborong saham sebuah perusahaan".
Hasilnya? Itu tadi, portofolio saham yang fokus. Banyak orang meyakini, faktor kunci dari kiat investasi yang sehat adalah diversifikasi. Buat Alwaleed, strategi semacam ini tak berlaku. "Diversifikasi dapat mencegah terjadinya kerugian", pria kelahiran Riyadh, Maret 1955 itu menegaskan."Tapi, tak mungkin seorang investor masuk ke jajaran klub elite multijutawan kalau mengandalkan strategi diversifikasi luas".
Data memang menunjukkan, jauh lebih sering gain besar ditangguk melalui taruhan berani yang sangat terfokus. Pada 1999, hampir separuh dari kekayaan Alwaleed yang waktu itu US$ 17 miliar ada dalam bentuk saham Citi. Di awal November tahun itu, saham Citi senilai US$ 1 miliar dilempar ke pasar, dan banyak analis yakin Alwaleed juga akan melepas Citi yang telah demikian gemuk.
Nyatanya tidak. Apalagi, sehari sebelumnya Alwaleed telah berjanji kepada Weill yang mengunjunginya ketika sedang bertandang bersama istrinya ke Riyadh. Dia tak meragukan masa depan Citi yang asetnya terus menggelembung setelah megamerger Citicorp dan Travelers Group. "Saya yakin saham Citigroup itu di tingkat US$ 100", ujarnya. "Potensi penuh dari merger belum terealisasi. Demikian pula pemangkasan biaya".
Alwaleed selalu menegaskan bahwa dirinya adalah investor jangka panjang. "a long-termer, not a seller", ujarnya pada setiap kesempatan. Keberanian menyimpan saham untuk jangka panjang itu berakar dari keyakinannya terhadap brand perusahaan yang sahamnya dia pilih. Ketika memborong saham Netscape, misalnya, ia yakin pionir browser Internet itu mirip Apple, pionir industri PC. "Perusahaan itu memang lagi jatuh, tapi tak mungkin akan pupus begitu saja. Setidaknya, ada perusahaan lain yang tertarik mengambil alih"
Keyakinan kuat inilah yang membuat Alwaleed terbawa nasib menjadi pemegang saham AOL. "Saya jadi pemegang saham AOL secara tidak sengaja", tuturnya. Sang Pangeran menyesal? Sama sekali tidak. Sebab Internet service provider (ISP) itu menjadi satu dari sedikit perusahaan Internet yang rapornya biru. Dia cuma merogoh kocek rata-rata US$ 30/lembar. Padahal, pada akhir 1999 saja nilai saham AOL sudah US$ 150/lembar. "happy", ujar Alwaleed. Siapa pula yang tidak girang kalau beroleh gain sampai 400%?
Bagaimana dengan risiko portofolio saham yang terfokus? Tentu saja ada, dan besar. Tak heran, seorang value investor seperti Alwaleed yang hati-hati memilih saham jeblok dari perusahaan dengan brand kinclong pun tak bisa luput. Bahkan, Sang Pangeran tersengat kerugian beberapa kali. Salah satunya, ketika membeli 20% saham Planet Hollywood senilai US$ 110 juta. Rantai resto dan kafe yang antara lain didirikan Bruce Willis dan Sylvester Stallone ini tak pernah bisa berkibar seperti yang dia harapkan.
Alwaleed juga kejeblos ketika membeli Daewoo. Chaebol Korea yang satu ini, kita tahu, sampai sekarang tak bisa bangkit seperti Samsung atau Hyundai. Lalu, ada lagi, pembelian saham Donna Karan senilai US$ 20 juta.
"Itu buat anak perempuan saya", Alwaleed memberi alasan mengapa masuk ke dunia gemerlap butik bisa dipastikan di luar radarnya. "Di situ dia jadi mitra saya". Agaknya benar kata banyak orang, tak elok mencampur urusan bisnis dengan sesuatu yang bersifat emosional.
Dari tiga perkawinannya, dua istri terdahulu telah dicerai, Alwaleed punya dua anak: Pangeran Khalid dan Putri Reem. Si sulung Khalid yang ke mana pergi selalu membawa Sony Vaio itu telah jadi investor online yang andal. Sebagai seorang ayah yang baik, Alwaleed tampaknya ingin juga berbagi sukses dengan putri kesayangannya.
Sampai 1999, kerugian yang ditanggung Alwaleed dalam investasi yang gagal tersebut, termasuk dari Euro Disney yang waktu itu masih payah betul, sekitar US$ 150 juta. Kelihatannya besar, tetapi sebenarnya cuma setara dengan satu dari sekian banyak gain gemuk yang dia tangguk. Dibanding aset Alwaleed waktu itu, US$ 17 miliar, kerugian akumulatif yang telah dan belum direalisasi itu tak ada seujung kuku.
"Namanya juga portofolio", ujar Sang Pangeran. "Wajar saja kalau ada yang merugi". Ada lagi sengatan, atau lebih tepat tamparan, yang membuat Alwaleed lebih terhenyak. Dan itu tak terkait dengan kerugian finansial. Ceritanya, sekitar sebulan setelah Tragedi 11 September, Sang Pangeran mengunjungi Ground Zero, tempat menara kembar WTC berdiri sebelum dihantam pesawat jumbo jet. Pada kesempatan itu, dia juga menyerahkan "tanda dukacita" berupa cek senilai US$ 10 juta. Sumbangan itu diterima langsung oleh Rudy Giuliani, Wali Kota New York.
Yang bikin Alwaleed terhenyak? Tak lama kemudian, Giuliani yang temperamental itu bikin pernyataan: "The Twin Tower Fund tak bisa menerima bantuan tersebut". Musababnya, masih ujar Pak Wali Kota dengan berapi-api, "Kami menolak segala pernyataannya".
Pagi itu, setelah seremoni dan penyerahan sumbangan pribadi, dalam wawancara dengan media Alwaleed menyatakan harapannya, "Agar Amerika membenahi beberapa isu yang menyebabkan terjadinya serangan teror 11 September". Caranya, masih menurut Sang Pangeran dalam pernyataan singkatnya, "Dengan memberikan perlakuan yang lebih adil kepada rakyat Palestina".
Giulani langsung meradang. "Pernyataan bahwa ada justifikasi untuk serangan teroris itu hanya akan mengundang lebih banyak teror di masa mendatang. Itu pernyataan yang sangat tak bertanggung jawab dan sangat berbahaya", ujarnya seraya menuding Alwaleed sebagai orang yang tak paham perbedaan antara negara demokrasi liberal semacam Amerika Serikat atau Israel dan negara teroris serta negara-negara lain yang mendukung terorisme. "Jadi, menurut saya, pernyataan (Alwaleed) itu bukan saja salah, melainkan juga bagian dari masalah".
Respons Alwaleed? Seraya menunjukkan surat dari Yasser Arafat yang menyatakan terima kasih atas dukungannya terhadap rakyat Palestina, dia hanya menjawab ringan, "Sumbangan yang saya berikan itu ditolak karena ada tekanan dari kalangan Yahudi dan Giuliani takut kepada mereka …"
Komentar ini menyulut reaksi lebih keras dari kalangan Yahudi Amerika sehingga keadaan bertambah runyam. Para pemuka Yahudi di kawasan Bay Area, misalnya, menyatakan bahwa mereka tak mau lagi menggunakan Hotel Fairmont di San Francisco dan San Jose sebagai venue untuk event skala besar. Alwaleed dikenal luas sebagai salah satu pemilik saham rantai perhotelan mewah itu.
Untungnya, masih banyak pemuka Yahudi yang berkepala dingin dan mau mengerti bahwa Alwaleed hanya memiliki saham senilai US$ 70 juta dari Fairmont yang secara keseluruhan bernilai buku US$ 1,5 miliar. "Yang akan susah hanyalah mereka yang kerja di hotel-hotel itu", ujar Lew Wolff. "Boikot terhadap Fairmont tak bakal memengaruhi orang sekaya Alwaleed".
Kontroversi baru redam setelah beberapa lama. Itu pun, antara lain, lewat lobi "bawah tanah" melalui pebisnis besar Yahudi, terutama yang berbasis di Toronto, Kanada.
Alwaleed dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos memang sosok kontroversial. Terlahir sebagai keponakan Raja Fahd (almarhum), penguasa kerajaan kaya raya Arab Saudi, bibit kontroversi telah tertanam dalam diri His Royal Highness Prince Alwaleed bin Talal bin Abdul Aziz al Saud, demikian nama sang superinvestor dalam lafal bahasa Inggris — sejak bayi.
Ayah Alwaleed, Pangeran Talal yang notabene adalah adik Raja Fahd, nyentrik sendiri di antara keluarga Kerajaan Saudi. Memilih istri dari kalangan di luar lingkungan keluarga bangsawan Arab Saudi, putri PM Lebanon yang bergaya hidup modern itu, Talal membuat marah keluarga besarnya yang konservatif. Beberapa lama dia kabur ke Mesir dan sempat mendukung gerakan antipemerintah monarki.
Talal baru kembali ke Arab Saudi setelah sang Ayah, Raja Abdul Aziz al Saud, pendiri Arab Saudi modern yang menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di Negeri Gurun itu pada 1932, menerimanya. Di negerinya itu, dia berhasil jadi raja kecil di real estate.
Seperti sang ayah, Alwaleed muda juga meninggalkan Arab Saudi walau untuk alasan yang berbeda: menimba ilmu di AS.
"Rasanya, saya tidak pernah melihat orang yang bekerja begitu keras", ujar Prof. Carlos Lopez, pembimbing akademis Alwaleed di Menlo College, Atherton, kota kecil dekat Palo Alto, Kalifornia. "Dia berada di peringkat atas di kelasnya".
Selulus dari perguruan tinggi yang program sarjana mudanya menjadi favorit para bangsawan Arab Saudi itu, 1979, Alwaleed ke Universitas Syracuse. Setelah menyabet gelar MA ilmu-ilmu sosial, 1985, barulah Sang Pangeran pulang ke Riyadh untuk mendirikan kerajaan bisnisnya.
Awalnya, dengan bantuan sang ayah, Alwaleed masuk ke bisnis real estate. Tak lama kemudian, berkat darah birunya yang kental, dia mendapat proyek konstruksi yang gemuk. Komisi jutaan US$ yang diperoleh dari proyek inilah yang diakui dia digunakan sebagai modal ketika di awal tahun 1990-an memborong saham Citicorp.
The Economist yang memiliki kemampuan intelijen bisnis andal meragukan klaim tersebut, dan menduga Alwaleed bertindak sebagai semacam fund manager bagi keluarga kerajaan. Toh, media cetak bergengsi asal Inggris ini mengakui, di awal 1990-an itu Alwaleed telah dikenal sebagai satu dari segelintir investor pribadi dunia yang mampu dengan cepat menyediakan ratusan juta US$ bagi perusahaan yang terpuruk krisis pendanaan.
Duduk di atas dana tunai yang menggunung, masih menurut The Economist, Alwaleed waktu itu biasanya pasif untuk urusan investasi di luar Arab Saudi. Citicorp yang sedang gonjang-ganjing itulah yang melakukan pendekatan setelah gagal mendapatkan dana segar US$ 1 miliar yang mereka butuhkan sehingga nilai sahamnya terjun bebas. Deal empuk yang diberikan Citicorp sebagai kompensasi risiko besar yang harus ditanggung itulah yang kemudian memberikan return luar biasa.
Pada akhir 1990, Alwaleed menyabet 4,9% saham biasa Citi senilai US$ 207 juta (US$ 12,46/lembar). Tak lama kemudian, Februari 1991, Sang Pangeran membelanjakan lagi US$ 590 juta untuk mendapat preferred share baru, yang convertible jadi saham biasa pada level US$ 16/lembar. Penambahan ini membuatnya menguasai 14,9% saham Citi.
Namun, karena persetujuan Federal Reserve bagi investor asing untuk memiliki saham bank Amerika lebih dari 10% tak kunjung keluar, Kingdom Holdings melepas sebagian saham Citi sehingga hanya memegang sedikit di bawah batas maksimum 10%. Waktu itu, 1993, saham Citi belum meroket sehingga Alwaleed hanya mengantongi US$ 364 juta dari penjualan sekitar 4,9% saham itu.
Hebatnya, dalam kondisi hampir tak pernah melego aset, Alwaleed mampu membelanjakan US$ 4,5 miliar buat memborong berbagai saham. Angka yang mencengangkan ini — jauh lebih besar ketimbang potensi penghasilan Sang Pangeran dari dividen, laba usaha, dan aktivitas bisnis lainnya yang mungkin — yang membuat The Economist menduga adanya sumber dana lain. Dan, karena Alwaleed membuktikan tak pernah mengambil utang buat dana investasinya, media tersebut yakin bahwa dia memainkan fulus milik anggota keluarga kerajaan.
"Penguasa Saudi butuh pahlawan", tulis The Economist pada 1999. Alasannya sederhana. Keluarga kerajaan yang penuh rahasia itu gampang dapat duit dari mana-mana dan jauh dari modern dalam pemikiran. Sementara itu, dalam diri Alwaleed dunia melihat seorang anggota dinasti Saud yang terbuka, cerdas dan sukses. Maka, dengan mendorong sukses Alwaleed, kerajaan akan ikut dapat nama harum.
Posisi keluarga kerajaan yang kuat membuat mereka tak perlu merasa khawatir sikap Alwaleed yang dinilai masyarakat konservatif Arab Saudi kelewat pro-AS itu bakal membahayakan kepentingan domestik. Sebaliknya, citra 'prokapitalisme" (dengan demokrasinya itu) sangat bermanfaat untuk memoles citra jelek yang secara alami melekat pada sistem pemerintahaan yang absolut. Di Barat sendiri, seperti terlihat dari konfliknya dengan Giuliani, Alwaleed masih dituding sebagai Islamist, dan orang Arab, yang konservatif.
Seperti kebanyakan masyarakat Arab Saudi, Alwaleed bersimpati dengan perjuangan Mujahidin melawan pasukan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan. Pada 1980-an itu, Alwaleed menjadi donatur untuk pasukan yang sedang berjihad. Bahkan, pada 1981, diam-diam dia mengunjungi kamp pelatihan Mujahidin di Peshawar, Pakistan.
Sikap Pemerintah Washington? Mereka bukan sekadar merestui, tetapi juga mendorong donasi melawan negara yang merupakan musuh demokrasi itu. Waktu itu, seorang Usamah bin Ladin pun menjadi sahabat AS — keluarga bin Ladin adalah mitra bisnis keluarga Bush selama dua generasi, dimulai dari ayah Usamah dan Presiden George Bush senior.
Alwaleed mengaku, begitu perang di Afghanistan berubah jadi perang saudara setelah Soviet hengkang pada awal 1989, dia menghentikan bantuannya. Donasi besar terakhir kepada Mujahidin, US$5,4 juta, menurut Alwaleed, dia berikan pada April 1990. "Masih ada sih lembaga yang memberi bantuan kepada orang-orang Afghan", ujarnya, "Tapi saya udah nggak ikut-ikut".
Pada 2001, hampir seluruh donasi US$ 100 juta dari Alwaleed — yang sebetulnya merupakan zakat dan sedekah, karena Pemerintah Arab Saudi tak menarik pajak penghasilan — disalurkan ke keluarga-keluarga miskin di Arab Sudi. Hanya sebagian kecil, US$ 6 juta, diberikan ke orang-orang Palestina yang dikeluarkan dari pekerjaan karena melakukan intifada. Selain itu, dia juga membantu rekonstruksi pembangkit tenaga listrik di Lebanon yang dihancurkan oleh serangan udara Israel.
Kebanggaan Alwaleed sebagai seorang putra Arab ditunjukkan dengan kecintaannya pada gurun. Pada akhir 1999, Fortune menggambarkan dengan bagus betapa Sang Pangeran lebih menikmati hidup di kawasan Ramah, beberapa puluh kilometer dari Riyadh, ke arah timur laut, ketimbang di tempat mana pun di dunia. Di sana, setiap malam setelah jogging di gurun, dia berkumpul dengan teman-temannya — para lelaki sesukunya, Bedouin — untuk mengobrol sambil minum teh dan kopi sampai menjelang Shubuh.
"I play 31 sports", ujar Alwaleed dengan bahasa Inggris logat British, dengan sedikit aksen Timur Tengah. " good at all of them".
Acara begadang Alwaleed selalu diakhiri dengan shalat Shubuh berjamaah, dengan Sang Pangeran sebagai imam. Siang hari, karena panas yang tak tertahankan, dia lebih banyak beristirahat.
Sejak muda, Alwaleed hanya perlu tidur lima jam sehari. Di luar waktu itu, bahkan ketika begadang dengan teman-teman Bedouinnya, secara rutin dia mengamati pergerakan saham dari beberapa monitor raksasa yang antara lain menampilkan data real time dari Bloomberg, siaran langsung CNBC, dan CNN.
Di istananya — sebuah gedung supermegah dengan 317 ruangan yang selesai dibangun awal 1999 dengan biaya US$ 130 juta — Alwaleed bisa melihat TV dan berhubungan dengan dunia luar di ruang mana pun dia berada. Maklum, istana seluas 400 ribu kaki persegi itu dilengkapi 520 televisi dan 400 telepon.
Sambungan Internet? Istana supermewah Alwaleed punya kelengkapan lebih dari sekadar koneksi ke dunia maya. Melalui Silki La Silki, Sang Pangeran memiliki ISP bernama PrimeNet yang bermarkas di pusat kota Riyadh. Terletak 8.091 mil dari Palo Alto, istana Alwaleed yang bak dongeng 1001 malam itu tak kalah canggih dari bangunan tercanggih di jantung Silicon Valley.
Untuk masuk ke istana yang "diotaki"dengan server tercanggih yang terhubung T-1 lines langsung ke network node di Boston, sopir yang membawa Alwaleed atau para tamunya harus membaca mantra "Sesame, buka pintu". Di balik gerbang, berdiri megah pancuran air setinggi hampir 7 meter dan jalan lebar dengan deretan palem cantik di kanan-kiri. Lalu, di ujung sana, sebuah bangunan berarsitektur padang pasir dengan sentuhan hotel paling hip di dunia: Four Seasons, dengan foyer setinggi 20 meter lebih yang dilengkapi sepasang tangga melingkar.
Dan bukan hanya rumah dan kantor yang tersambung T-1 lines. Sebab, Alwaleed juga bersikeras agar pesawat pribadinya — masing-masing sebuah Boeing 737 dan 767 — serta kapal pesiar mewah yang dia beli dari Adnan Khashoggi (dan sebelumnya milik Donald Trump) dan seluruh mobilnya yang 250 itu, juga memiliki akses Internet supercepat.
Untuk istana gurun pasirnya, gaya Four Seasons bukan dipilih secara kebetulan. Maklum, pada 1999 saja, Alwaleed telah menguasai 24% saham rantai perhotelan mewah itu.
Kemitraan Kingdom Holdings — salah satu pengembang hotel terbesar di dunia — dengan For Seasons cukup unik. Latar belakang pemiliknya sungguh berlawanan. Isadore Sharp, yang mendirikan Four Seasons dari sebuah motel pada 1961 di Toronto, adalah seorang Yahudi. Toh, hubungan bisnis yang berawal dari pertemuan keduanya di kapal pesiar Sang Pangeran yang sedang bersandar di dekat Cannes, pada 1994, berjalan mulus hingga sekarang.
Saat ini, sayap bisnis Four Seasons (dan Fairmont Hotels & Resorts, rantai perhotelan yang juga asal Toronto dan 4,9% sahamnya dikuasai Sang Pangeran) di Timur Tengah berkepak lebih lebar ketimbang kelompok perhotelan mewah mana pun. Pada 2007, dengan penambahan properti di Alexandria, Beirut, dan Damascus, Four Seasons akan memiliki 9 hotel, dan tahun 2010, hotel mereka di kawasan itu bakal tumbuh jadi 13.
"aya percaya penuh yang dikatakan Sang Pangeran waktu itu, dan dia terus memegang komitmen sampai saat ini", ujar Sharp. "Sistem nilai kami sangat mirip dan tak bentrok dengan latar belakang agama kami".
Bisnis, bagi Alwaleed, memang "buta warna" — tak kenal warna agama, politik, ataupun kulit. Pernah, Disney World di Florida menampilkan Epcot theme park dengan pameran dari Pemerintah Israel yang menohok kelompok Arab dan Muslim. Waktu itu, 1999, Liga Arab menyerukan pertemuan di PBB buat membahas boikot terhadap Disney. Namun, aksi itu lalu membatalkan setelah Alwaleed dan beberapa bangsawan Arab Saudi yang berpengaruh melobi di belakang layar.
Di situ, Alwaleed menyampaikan pesan Chairman Michael Eisner yang telah berhasil meyakinkannya."Disney has no religion", katanya kepada Ketua PLO Yasser Arafat, "Nggak ada gunanya. Kalau Disney kami boikot, kami akan terlihat seperti Mickey Mouse".
Kalau boikot tersebut dilakukan, kita tahu, Alwaleed akan merugi. Ketika itu adalah saat kritis buat Euro Disneyland. Resor dan theme park di Paris yang 17,3% sahamnya dikuasai Alwaleed itu sedang dalam upaya turnaround yang menentukan.
Di bisnis lain yang lebih strategis, media, Alwaleed juga tak segan mendukung Rupert Murdoch ketika Raja Media itu merasa terancam oleh John Malone, penguasa bisnis TV kabel AS, yang meningkatkan pemilikan saham News Corp. menjadi 18%. Meningkatkan kepemilikan menjadi 5,46% saham dengan hak voting, dari sebelumnya hanya 3% saham nonvoting, Sang Pangeran meyakinkan, "Kami tegaskan lagi, kami punya keyakinan penuh terhadap Mr. Murdoch, tim manajemennya dan rencana suksesinya. Kalau perlu, kami akan menambah saham dengan hak voting"
Perlu dicatat, Murdoch adalah salah satu pentolan kelompok neokonservatif AS. Jaringan televisinya, Fox, adalah paling keras menyerukan invasi AS ke Irak pasca Tragedi 11 September.
Sikap seperti inilah agaknya yang membuat banyak kalangan di AS tetap menilai Alwaleed pro-AS, berbeda dari para pangeran dan pemuka Arab lainnya, walau yang dalam retorikanya kadang mengecam kebijakan AS di Timur Tengah. Beberapa media mengutip pernyataan Sang Pangeran, penggemar Diet Pepsi yang dilukiskan selalu mengenakan jas dan dasi, bukan gamis dan kafiyeh, jika berada di luar Timur Tengah itu ketika ditanya tentang investasinya yang anjlok menyusul teror terbesar yang terjadi di bumi Amerika: "Saya tak akan pernah menjual selembar pun saham perusahaan AS yang saya pegang hanya karena alasan politik".
Kendati demikian, bukan berarti Alwaleed tak akan melepas sama sekali asetnya kalau ada peluang yang lebih menarik di luar AS. Pada 2004, misalnya, dia melepas Plaza Hotel senilai US$ 675 juta. Di awal 2005, Kingdom Holdings membocorkan rencana untuk membeli atau membangun setidaknya 35 hotel lagi di Dubai, Mesir, Bahrain dan beberapa negara Arab lain dalam tiga tahun ke depan. Mereka juga akan melebarkan sayap ke Afrika, dimulai Mei 2005 dengan akuisisi lima hotel dan resor di Kenya.
Plaza Hotel sebetulnya merupakan salah satu tonggak penting perjalanan bisnis Alwaleed — dan mengandung kenangan tersendiri. Kenyataan bahwa Sang Pangeran melegonya menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang sentimental.
Ceritanya, pada Mei 1999, ketika menginap di hotel yang cantik itu dalam perjalanan bisnis ke New York, Buffett menulis surat buat Sang Pangeran. "You have restored the Plaza ot its former luster — indeed your managers have enabled it to surpass its previous heights — and I congratulate you".
Ketika Alwaleed merespons pujian tersebut, Buffett menulis kembali. "In Omaha, I known as the Alwaleed of America" — which is quite a compliment …
sumber : (fn/swa/ls/suaramedia.com)
Kendati demikian, bisa dipastikan, lelaki energik yang dikenal sebagai Pangeran Alwaleed itu bukanlah sekadar seorang peniru. Maklum, Alwaleed mengibarkan diri ke peringkat lima jajaran orang terkaya sejagat versi Forbes dengan caranya sendiri. Langkah yang dia ayun sering terlihat nekat, tak terpikirkan oleh kebanyakan investor kawakan sekalipun, tetapi kemudian terbukti brilian.
Alwaleed meraup miliar dolar pertamanya melalui investasi US$ 590 juta di saham Citicorp, ketika kampiun industri perbankan itu terpuruk pada 1991. Saat ini, investasinya itu telah bernilai 17 kali lipat. Dan itu bukan sebuah kebetulan. Semua investor melihat peluang yang sama. Toh, hanya Pangeran dari Negeri Gurun itulah yang berani mempertaruhkan kekayaannya pada nama besar Citicorp yang sedang terjerembab ke lumpur kerugian yang luar biasa dalam.
Kenyataan bahwa belasan tahun setelah itu Alwaleed masih menabur asetnya secara sistematis di pasar kapital seluruh dunia, membentuk kerajaan investasi yang menghimpun nama-nama perusahaan global beken di portofolionya yang bernilai lebih dari US$ 25 miliar, membuktikan bahwa dia bisa disejajarkan dengan para kampiun bisnis global kelas atas. Kalau kita perhatikan, jajaran orang terkaya di dunia bisa dibagi menjadi dua golongan. Di satu kubu adalah para pendiri kerajaan bisnis semacam Bill Gates dan Michael Dell. Alwaleed termasuk golongan kedua, sekubu dengan orang-orang seperti Buffett dan Philip Anschutz, yang kepiawaiannya bukan mengembangkan kerajaan bisnis melainkan membiakkan kapital.
Para pendiri kerajaan bisnis umumnya punya nama lebih besar. Namun kalau dikaji lebih dalam, orang-orang yang ikut mengarahkan agar kapital mengalir ke tempat yang paling produktiflah — para investor — yang memungkinkan para kaisar bisnis itu berkibar. Dan, sebagai salah satu dari sedikit investor global, Alwaleed ikut mendorong aliran kapital tersebut di seluruh dunia: Amerika Utara, Asia, Eropa, Afrika, dan tentu saja Timur Tengah.
Tak punya latar belakang pendidikan seperti Buffett, bisa dipastikan Alwaleed tak sepiawai bos Berkshire Hathaway itu dalam menganalisis pasar uang dan sekuritas. Dia tentunya pula tak punya keahlian teknologi Gates atau Dell. Namun, terbukti dia cukup pintar untuk menubruk 6,2 juta saham Apple Computer Inc. pada Maret 1997 ketika saham perusahaan komputer itu jeblok ke posisi US$ 18/lembar. Hanya dalam tempo 30 bulan, Desember 1999, saham Apple meroket jadi US$ 96/lembar, membuat Alwaleed menangguk capital gains hampir US$ 500 juta. Saat ini, dengan sukses iPod yang luar biasa, gain yang dinikmati Alwaleed dari 5% saham Apple yang dia kuasai tentu sudah dalam hitungan miliaran US$.
Patut dicatat, ketika Alwaleed memborong saham Apple melalui Kingdom Holdings Co. — perusahaan investasi yang 100% sahamnya dia kuasai — Jobs masih sibuk dengan NeXT dan Pixar. Pendiri Apple itu baru duduk sebagai CEO ad interim beberapa bulan kemudian, Juli 1997. Dan, setelah Jobs masuk, saham bersimbol AAPL itu masih diemohi banyak investor.
Alwaleed, lagi-lagi, "hanya mujur?", ujar Sandy Weill yang ketika dikutip oleh Kantor Berita Fortune pada Desember 1999 masih Co-CEO Citi, "You sure can, argue with results". Siapa coba, yang meragukan hasil kerja Alwaleed. Bukankah waktu itu para investor lain punya peluang yang sama buat meraup gain besar?
Pada Oktober 1997, ketika pasar saham hi-tech terus terpuruk, Alwaleed kembali mempertaruhkan jutaan US$ untuk memborong saham Netscape dan Motorola. Langkah ini, terutama pembelian 6 juta saham Motorola seharga US$76, dinilai banyak analis sebagai blunder besar karena dalam tempo 12 bulan nilainya anjlok jadi US$ 38/lembar.
Akan tetapi, sim salabim, tak lama kemudian Alwaleed mengantongi gain US$ 82 juta lebih. Saham perusahaan yang tadinya terpuruk karena produknya — cip dan pesawat ponsel — yang payah dan manajemennya salah urus, pada awal November 1999 meroket jadi US$ 90. Saat ini, sukses mengibarkan diri sebagai produsen ponsel kedua terakbar di dunia (hanya kalah dari Nokia), bisa dibayangkan besarnya gain yang ditangguk Alwaleed dari 1% saham Motorola yang dia kuasai.
Akan halnya Netscape, begitu empat juta lebih sahamnya senilai US$ 130 juta masuk portofolio Kingdom Holdings, juga oleng diempas Microsoft yang membagikan secara gratis browser Internet Explorernya dalam paket Windows. Alwaleed terus mempertahankannya. Dan benar saja, saham tersebut mulai melejit ketika AOL, pada musim gugur 1998 mengumumkan rencana stock swap. Memasuki musim semi 1999, ketika deal bisnis itu rampung, saham Netscape Alwaleed telah menjadi 4 juta saham AOL yang di penghujung tahun itu bernilai US$ 600 juta. Saat ini, dari sekitar 1% saham AOL Time/Warner yang dikuasainya, Alwaleed bisa dipastikan telah menikmati gain miliaran US$.
Kalau dibedah, ada dua hal yang menonjol dalam portofolio Alwaleed. Pertama, sampai 1999, sebagian besar yang dia pegang adalah saham media, teknologi dan perbankan. Sampai saat ini, 150 juta lembar (setara 4,4%) saham Citicorp yang pada 1999 saja bernilai US$ 8 miliar, dan sekarang US$ 10 miliar lebih, merupakan kue paling gemuk dalam portofolionya. Sang Pangeran juga banyak memegang saham rantai perhotelan mewah.
Kegandrungan Alwaleed terhadap saham teknologi menunjukkan bahwa strategi The Warren Buffett of Saudi Arabia ini sebenarnya "anti-Buffett". Sang Peramal dari Omaha ini, walau bersahabat dengan Gates, mengaku terus terang sebagai seorang technophobe alias investor yang alergi terhadap saham teknologi yang diakuinya tak dia pahami. Masih kurang? Alwaleed juga diketahui pada musim gugur 2001 melepas saham Gillete (US$ 55 juta) dan Coca-Cola (US$ 63 juta) yang merupakan saham favorit Buffett (yang menjadi komisaris di kedua perusahaan itu). Selanjutnya, Maret 2002, Alwaleed memborong saham Citi senilai US$ 1 miliar, sementara Buffett justru menjual seluruh saham bersimbol C yang dia pegang senilai US$ 110 juta.
Hal kedua yang menonjol dan lebih menarik adalah strategi Alwaleed sebagai seorang value investor. Sang Pangeran selalu memilih saham-saham yang tumbuh, growth stocks, utamanya saham perusahaan dengan nama besar ketika harganya sedang jatuh. Dia tak pernah tertarik pada, misalnya, saham produsen metal yang kelihatannya murah tapi harganya mandek. Sang Pangeran dari Negeri Minyak ini bahkan tak pernah melirik saham industri migas yang menurut pengakuannya, tak dia pahami.
Apakah Alwaleed memilih saham-saham teknologi, media, perbankan, dan perhotelan secara sengaja? "“Ya dan tidak", jawabnya. "Saya mengambil saham-saham tersebut karena perusahaannya. Saya selalu cari hal yang sama: perusahaan global dengan brand name yang pada dasarnya sehat tetapi sedang gonjang-ganjing. Pertimbangan inilah yang membuat saya memborong saham sebuah perusahaan".
Hasilnya? Itu tadi, portofolio saham yang fokus. Banyak orang meyakini, faktor kunci dari kiat investasi yang sehat adalah diversifikasi. Buat Alwaleed, strategi semacam ini tak berlaku. "Diversifikasi dapat mencegah terjadinya kerugian", pria kelahiran Riyadh, Maret 1955 itu menegaskan."Tapi, tak mungkin seorang investor masuk ke jajaran klub elite multijutawan kalau mengandalkan strategi diversifikasi luas".
Data memang menunjukkan, jauh lebih sering gain besar ditangguk melalui taruhan berani yang sangat terfokus. Pada 1999, hampir separuh dari kekayaan Alwaleed yang waktu itu US$ 17 miliar ada dalam bentuk saham Citi. Di awal November tahun itu, saham Citi senilai US$ 1 miliar dilempar ke pasar, dan banyak analis yakin Alwaleed juga akan melepas Citi yang telah demikian gemuk.
Nyatanya tidak. Apalagi, sehari sebelumnya Alwaleed telah berjanji kepada Weill yang mengunjunginya ketika sedang bertandang bersama istrinya ke Riyadh. Dia tak meragukan masa depan Citi yang asetnya terus menggelembung setelah megamerger Citicorp dan Travelers Group. "Saya yakin saham Citigroup itu di tingkat US$ 100", ujarnya. "Potensi penuh dari merger belum terealisasi. Demikian pula pemangkasan biaya".
Alwaleed selalu menegaskan bahwa dirinya adalah investor jangka panjang. "a long-termer, not a seller", ujarnya pada setiap kesempatan. Keberanian menyimpan saham untuk jangka panjang itu berakar dari keyakinannya terhadap brand perusahaan yang sahamnya dia pilih. Ketika memborong saham Netscape, misalnya, ia yakin pionir browser Internet itu mirip Apple, pionir industri PC. "Perusahaan itu memang lagi jatuh, tapi tak mungkin akan pupus begitu saja. Setidaknya, ada perusahaan lain yang tertarik mengambil alih"
Keyakinan kuat inilah yang membuat Alwaleed terbawa nasib menjadi pemegang saham AOL. "Saya jadi pemegang saham AOL secara tidak sengaja", tuturnya. Sang Pangeran menyesal? Sama sekali tidak. Sebab Internet service provider (ISP) itu menjadi satu dari sedikit perusahaan Internet yang rapornya biru. Dia cuma merogoh kocek rata-rata US$ 30/lembar. Padahal, pada akhir 1999 saja nilai saham AOL sudah US$ 150/lembar. "happy", ujar Alwaleed. Siapa pula yang tidak girang kalau beroleh gain sampai 400%?
Bagaimana dengan risiko portofolio saham yang terfokus? Tentu saja ada, dan besar. Tak heran, seorang value investor seperti Alwaleed yang hati-hati memilih saham jeblok dari perusahaan dengan brand kinclong pun tak bisa luput. Bahkan, Sang Pangeran tersengat kerugian beberapa kali. Salah satunya, ketika membeli 20% saham Planet Hollywood senilai US$ 110 juta. Rantai resto dan kafe yang antara lain didirikan Bruce Willis dan Sylvester Stallone ini tak pernah bisa berkibar seperti yang dia harapkan.
Alwaleed juga kejeblos ketika membeli Daewoo. Chaebol Korea yang satu ini, kita tahu, sampai sekarang tak bisa bangkit seperti Samsung atau Hyundai. Lalu, ada lagi, pembelian saham Donna Karan senilai US$ 20 juta.
"Itu buat anak perempuan saya", Alwaleed memberi alasan mengapa masuk ke dunia gemerlap butik bisa dipastikan di luar radarnya. "Di situ dia jadi mitra saya". Agaknya benar kata banyak orang, tak elok mencampur urusan bisnis dengan sesuatu yang bersifat emosional.
Dari tiga perkawinannya, dua istri terdahulu telah dicerai, Alwaleed punya dua anak: Pangeran Khalid dan Putri Reem. Si sulung Khalid yang ke mana pergi selalu membawa Sony Vaio itu telah jadi investor online yang andal. Sebagai seorang ayah yang baik, Alwaleed tampaknya ingin juga berbagi sukses dengan putri kesayangannya.
Sampai 1999, kerugian yang ditanggung Alwaleed dalam investasi yang gagal tersebut, termasuk dari Euro Disney yang waktu itu masih payah betul, sekitar US$ 150 juta. Kelihatannya besar, tetapi sebenarnya cuma setara dengan satu dari sekian banyak gain gemuk yang dia tangguk. Dibanding aset Alwaleed waktu itu, US$ 17 miliar, kerugian akumulatif yang telah dan belum direalisasi itu tak ada seujung kuku.
"Namanya juga portofolio", ujar Sang Pangeran. "Wajar saja kalau ada yang merugi". Ada lagi sengatan, atau lebih tepat tamparan, yang membuat Alwaleed lebih terhenyak. Dan itu tak terkait dengan kerugian finansial. Ceritanya, sekitar sebulan setelah Tragedi 11 September, Sang Pangeran mengunjungi Ground Zero, tempat menara kembar WTC berdiri sebelum dihantam pesawat jumbo jet. Pada kesempatan itu, dia juga menyerahkan "tanda dukacita" berupa cek senilai US$ 10 juta. Sumbangan itu diterima langsung oleh Rudy Giuliani, Wali Kota New York.
Yang bikin Alwaleed terhenyak? Tak lama kemudian, Giuliani yang temperamental itu bikin pernyataan: "The Twin Tower Fund tak bisa menerima bantuan tersebut". Musababnya, masih ujar Pak Wali Kota dengan berapi-api, "Kami menolak segala pernyataannya".
Pagi itu, setelah seremoni dan penyerahan sumbangan pribadi, dalam wawancara dengan media Alwaleed menyatakan harapannya, "Agar Amerika membenahi beberapa isu yang menyebabkan terjadinya serangan teror 11 September". Caranya, masih menurut Sang Pangeran dalam pernyataan singkatnya, "Dengan memberikan perlakuan yang lebih adil kepada rakyat Palestina".
Giulani langsung meradang. "Pernyataan bahwa ada justifikasi untuk serangan teroris itu hanya akan mengundang lebih banyak teror di masa mendatang. Itu pernyataan yang sangat tak bertanggung jawab dan sangat berbahaya", ujarnya seraya menuding Alwaleed sebagai orang yang tak paham perbedaan antara negara demokrasi liberal semacam Amerika Serikat atau Israel dan negara teroris serta negara-negara lain yang mendukung terorisme. "Jadi, menurut saya, pernyataan (Alwaleed) itu bukan saja salah, melainkan juga bagian dari masalah".
Respons Alwaleed? Seraya menunjukkan surat dari Yasser Arafat yang menyatakan terima kasih atas dukungannya terhadap rakyat Palestina, dia hanya menjawab ringan, "Sumbangan yang saya berikan itu ditolak karena ada tekanan dari kalangan Yahudi dan Giuliani takut kepada mereka …"
Komentar ini menyulut reaksi lebih keras dari kalangan Yahudi Amerika sehingga keadaan bertambah runyam. Para pemuka Yahudi di kawasan Bay Area, misalnya, menyatakan bahwa mereka tak mau lagi menggunakan Hotel Fairmont di San Francisco dan San Jose sebagai venue untuk event skala besar. Alwaleed dikenal luas sebagai salah satu pemilik saham rantai perhotelan mewah itu.
Untungnya, masih banyak pemuka Yahudi yang berkepala dingin dan mau mengerti bahwa Alwaleed hanya memiliki saham senilai US$ 70 juta dari Fairmont yang secara keseluruhan bernilai buku US$ 1,5 miliar. "Yang akan susah hanyalah mereka yang kerja di hotel-hotel itu", ujar Lew Wolff. "Boikot terhadap Fairmont tak bakal memengaruhi orang sekaya Alwaleed".
Kontroversi baru redam setelah beberapa lama. Itu pun, antara lain, lewat lobi "bawah tanah" melalui pebisnis besar Yahudi, terutama yang berbasis di Toronto, Kanada.
Alwaleed dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos memang sosok kontroversial. Terlahir sebagai keponakan Raja Fahd (almarhum), penguasa kerajaan kaya raya Arab Saudi, bibit kontroversi telah tertanam dalam diri His Royal Highness Prince Alwaleed bin Talal bin Abdul Aziz al Saud, demikian nama sang superinvestor dalam lafal bahasa Inggris — sejak bayi.
Ayah Alwaleed, Pangeran Talal yang notabene adalah adik Raja Fahd, nyentrik sendiri di antara keluarga Kerajaan Saudi. Memilih istri dari kalangan di luar lingkungan keluarga bangsawan Arab Saudi, putri PM Lebanon yang bergaya hidup modern itu, Talal membuat marah keluarga besarnya yang konservatif. Beberapa lama dia kabur ke Mesir dan sempat mendukung gerakan antipemerintah monarki.
Talal baru kembali ke Arab Saudi setelah sang Ayah, Raja Abdul Aziz al Saud, pendiri Arab Saudi modern yang menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di Negeri Gurun itu pada 1932, menerimanya. Di negerinya itu, dia berhasil jadi raja kecil di real estate.
Seperti sang ayah, Alwaleed muda juga meninggalkan Arab Saudi walau untuk alasan yang berbeda: menimba ilmu di AS.
"Rasanya, saya tidak pernah melihat orang yang bekerja begitu keras", ujar Prof. Carlos Lopez, pembimbing akademis Alwaleed di Menlo College, Atherton, kota kecil dekat Palo Alto, Kalifornia. "Dia berada di peringkat atas di kelasnya".
Selulus dari perguruan tinggi yang program sarjana mudanya menjadi favorit para bangsawan Arab Saudi itu, 1979, Alwaleed ke Universitas Syracuse. Setelah menyabet gelar MA ilmu-ilmu sosial, 1985, barulah Sang Pangeran pulang ke Riyadh untuk mendirikan kerajaan bisnisnya.
Awalnya, dengan bantuan sang ayah, Alwaleed masuk ke bisnis real estate. Tak lama kemudian, berkat darah birunya yang kental, dia mendapat proyek konstruksi yang gemuk. Komisi jutaan US$ yang diperoleh dari proyek inilah yang diakui dia digunakan sebagai modal ketika di awal tahun 1990-an memborong saham Citicorp.
The Economist yang memiliki kemampuan intelijen bisnis andal meragukan klaim tersebut, dan menduga Alwaleed bertindak sebagai semacam fund manager bagi keluarga kerajaan. Toh, media cetak bergengsi asal Inggris ini mengakui, di awal 1990-an itu Alwaleed telah dikenal sebagai satu dari segelintir investor pribadi dunia yang mampu dengan cepat menyediakan ratusan juta US$ bagi perusahaan yang terpuruk krisis pendanaan.
Duduk di atas dana tunai yang menggunung, masih menurut The Economist, Alwaleed waktu itu biasanya pasif untuk urusan investasi di luar Arab Saudi. Citicorp yang sedang gonjang-ganjing itulah yang melakukan pendekatan setelah gagal mendapatkan dana segar US$ 1 miliar yang mereka butuhkan sehingga nilai sahamnya terjun bebas. Deal empuk yang diberikan Citicorp sebagai kompensasi risiko besar yang harus ditanggung itulah yang kemudian memberikan return luar biasa.
Pada akhir 1990, Alwaleed menyabet 4,9% saham biasa Citi senilai US$ 207 juta (US$ 12,46/lembar). Tak lama kemudian, Februari 1991, Sang Pangeran membelanjakan lagi US$ 590 juta untuk mendapat preferred share baru, yang convertible jadi saham biasa pada level US$ 16/lembar. Penambahan ini membuatnya menguasai 14,9% saham Citi.
Namun, karena persetujuan Federal Reserve bagi investor asing untuk memiliki saham bank Amerika lebih dari 10% tak kunjung keluar, Kingdom Holdings melepas sebagian saham Citi sehingga hanya memegang sedikit di bawah batas maksimum 10%. Waktu itu, 1993, saham Citi belum meroket sehingga Alwaleed hanya mengantongi US$ 364 juta dari penjualan sekitar 4,9% saham itu.
Hebatnya, dalam kondisi hampir tak pernah melego aset, Alwaleed mampu membelanjakan US$ 4,5 miliar buat memborong berbagai saham. Angka yang mencengangkan ini — jauh lebih besar ketimbang potensi penghasilan Sang Pangeran dari dividen, laba usaha, dan aktivitas bisnis lainnya yang mungkin — yang membuat The Economist menduga adanya sumber dana lain. Dan, karena Alwaleed membuktikan tak pernah mengambil utang buat dana investasinya, media tersebut yakin bahwa dia memainkan fulus milik anggota keluarga kerajaan.
"Penguasa Saudi butuh pahlawan", tulis The Economist pada 1999. Alasannya sederhana. Keluarga kerajaan yang penuh rahasia itu gampang dapat duit dari mana-mana dan jauh dari modern dalam pemikiran. Sementara itu, dalam diri Alwaleed dunia melihat seorang anggota dinasti Saud yang terbuka, cerdas dan sukses. Maka, dengan mendorong sukses Alwaleed, kerajaan akan ikut dapat nama harum.
Posisi keluarga kerajaan yang kuat membuat mereka tak perlu merasa khawatir sikap Alwaleed yang dinilai masyarakat konservatif Arab Saudi kelewat pro-AS itu bakal membahayakan kepentingan domestik. Sebaliknya, citra 'prokapitalisme" (dengan demokrasinya itu) sangat bermanfaat untuk memoles citra jelek yang secara alami melekat pada sistem pemerintahaan yang absolut. Di Barat sendiri, seperti terlihat dari konfliknya dengan Giuliani, Alwaleed masih dituding sebagai Islamist, dan orang Arab, yang konservatif.
Seperti kebanyakan masyarakat Arab Saudi, Alwaleed bersimpati dengan perjuangan Mujahidin melawan pasukan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan. Pada 1980-an itu, Alwaleed menjadi donatur untuk pasukan yang sedang berjihad. Bahkan, pada 1981, diam-diam dia mengunjungi kamp pelatihan Mujahidin di Peshawar, Pakistan.
Sikap Pemerintah Washington? Mereka bukan sekadar merestui, tetapi juga mendorong donasi melawan negara yang merupakan musuh demokrasi itu. Waktu itu, seorang Usamah bin Ladin pun menjadi sahabat AS — keluarga bin Ladin adalah mitra bisnis keluarga Bush selama dua generasi, dimulai dari ayah Usamah dan Presiden George Bush senior.
Alwaleed mengaku, begitu perang di Afghanistan berubah jadi perang saudara setelah Soviet hengkang pada awal 1989, dia menghentikan bantuannya. Donasi besar terakhir kepada Mujahidin, US$5,4 juta, menurut Alwaleed, dia berikan pada April 1990. "Masih ada sih lembaga yang memberi bantuan kepada orang-orang Afghan", ujarnya, "Tapi saya udah nggak ikut-ikut".
Pada 2001, hampir seluruh donasi US$ 100 juta dari Alwaleed — yang sebetulnya merupakan zakat dan sedekah, karena Pemerintah Arab Saudi tak menarik pajak penghasilan — disalurkan ke keluarga-keluarga miskin di Arab Sudi. Hanya sebagian kecil, US$ 6 juta, diberikan ke orang-orang Palestina yang dikeluarkan dari pekerjaan karena melakukan intifada. Selain itu, dia juga membantu rekonstruksi pembangkit tenaga listrik di Lebanon yang dihancurkan oleh serangan udara Israel.
Kebanggaan Alwaleed sebagai seorang putra Arab ditunjukkan dengan kecintaannya pada gurun. Pada akhir 1999, Fortune menggambarkan dengan bagus betapa Sang Pangeran lebih menikmati hidup di kawasan Ramah, beberapa puluh kilometer dari Riyadh, ke arah timur laut, ketimbang di tempat mana pun di dunia. Di sana, setiap malam setelah jogging di gurun, dia berkumpul dengan teman-temannya — para lelaki sesukunya, Bedouin — untuk mengobrol sambil minum teh dan kopi sampai menjelang Shubuh.
"I play 31 sports", ujar Alwaleed dengan bahasa Inggris logat British, dengan sedikit aksen Timur Tengah. " good at all of them".
Acara begadang Alwaleed selalu diakhiri dengan shalat Shubuh berjamaah, dengan Sang Pangeran sebagai imam. Siang hari, karena panas yang tak tertahankan, dia lebih banyak beristirahat.
Sejak muda, Alwaleed hanya perlu tidur lima jam sehari. Di luar waktu itu, bahkan ketika begadang dengan teman-teman Bedouinnya, secara rutin dia mengamati pergerakan saham dari beberapa monitor raksasa yang antara lain menampilkan data real time dari Bloomberg, siaran langsung CNBC, dan CNN.
Di istananya — sebuah gedung supermegah dengan 317 ruangan yang selesai dibangun awal 1999 dengan biaya US$ 130 juta — Alwaleed bisa melihat TV dan berhubungan dengan dunia luar di ruang mana pun dia berada. Maklum, istana seluas 400 ribu kaki persegi itu dilengkapi 520 televisi dan 400 telepon.
Sambungan Internet? Istana supermewah Alwaleed punya kelengkapan lebih dari sekadar koneksi ke dunia maya. Melalui Silki La Silki, Sang Pangeran memiliki ISP bernama PrimeNet yang bermarkas di pusat kota Riyadh. Terletak 8.091 mil dari Palo Alto, istana Alwaleed yang bak dongeng 1001 malam itu tak kalah canggih dari bangunan tercanggih di jantung Silicon Valley.
Untuk masuk ke istana yang "diotaki"dengan server tercanggih yang terhubung T-1 lines langsung ke network node di Boston, sopir yang membawa Alwaleed atau para tamunya harus membaca mantra "Sesame, buka pintu". Di balik gerbang, berdiri megah pancuran air setinggi hampir 7 meter dan jalan lebar dengan deretan palem cantik di kanan-kiri. Lalu, di ujung sana, sebuah bangunan berarsitektur padang pasir dengan sentuhan hotel paling hip di dunia: Four Seasons, dengan foyer setinggi 20 meter lebih yang dilengkapi sepasang tangga melingkar.
Dan bukan hanya rumah dan kantor yang tersambung T-1 lines. Sebab, Alwaleed juga bersikeras agar pesawat pribadinya — masing-masing sebuah Boeing 737 dan 767 — serta kapal pesiar mewah yang dia beli dari Adnan Khashoggi (dan sebelumnya milik Donald Trump) dan seluruh mobilnya yang 250 itu, juga memiliki akses Internet supercepat.
Untuk istana gurun pasirnya, gaya Four Seasons bukan dipilih secara kebetulan. Maklum, pada 1999 saja, Alwaleed telah menguasai 24% saham rantai perhotelan mewah itu.
Kemitraan Kingdom Holdings — salah satu pengembang hotel terbesar di dunia — dengan For Seasons cukup unik. Latar belakang pemiliknya sungguh berlawanan. Isadore Sharp, yang mendirikan Four Seasons dari sebuah motel pada 1961 di Toronto, adalah seorang Yahudi. Toh, hubungan bisnis yang berawal dari pertemuan keduanya di kapal pesiar Sang Pangeran yang sedang bersandar di dekat Cannes, pada 1994, berjalan mulus hingga sekarang.
Saat ini, sayap bisnis Four Seasons (dan Fairmont Hotels & Resorts, rantai perhotelan yang juga asal Toronto dan 4,9% sahamnya dikuasai Sang Pangeran) di Timur Tengah berkepak lebih lebar ketimbang kelompok perhotelan mewah mana pun. Pada 2007, dengan penambahan properti di Alexandria, Beirut, dan Damascus, Four Seasons akan memiliki 9 hotel, dan tahun 2010, hotel mereka di kawasan itu bakal tumbuh jadi 13.
"aya percaya penuh yang dikatakan Sang Pangeran waktu itu, dan dia terus memegang komitmen sampai saat ini", ujar Sharp. "Sistem nilai kami sangat mirip dan tak bentrok dengan latar belakang agama kami".
Bisnis, bagi Alwaleed, memang "buta warna" — tak kenal warna agama, politik, ataupun kulit. Pernah, Disney World di Florida menampilkan Epcot theme park dengan pameran dari Pemerintah Israel yang menohok kelompok Arab dan Muslim. Waktu itu, 1999, Liga Arab menyerukan pertemuan di PBB buat membahas boikot terhadap Disney. Namun, aksi itu lalu membatalkan setelah Alwaleed dan beberapa bangsawan Arab Saudi yang berpengaruh melobi di belakang layar.
Di situ, Alwaleed menyampaikan pesan Chairman Michael Eisner yang telah berhasil meyakinkannya."Disney has no religion", katanya kepada Ketua PLO Yasser Arafat, "Nggak ada gunanya. Kalau Disney kami boikot, kami akan terlihat seperti Mickey Mouse".
Kalau boikot tersebut dilakukan, kita tahu, Alwaleed akan merugi. Ketika itu adalah saat kritis buat Euro Disneyland. Resor dan theme park di Paris yang 17,3% sahamnya dikuasai Alwaleed itu sedang dalam upaya turnaround yang menentukan.
Di bisnis lain yang lebih strategis, media, Alwaleed juga tak segan mendukung Rupert Murdoch ketika Raja Media itu merasa terancam oleh John Malone, penguasa bisnis TV kabel AS, yang meningkatkan pemilikan saham News Corp. menjadi 18%. Meningkatkan kepemilikan menjadi 5,46% saham dengan hak voting, dari sebelumnya hanya 3% saham nonvoting, Sang Pangeran meyakinkan, "Kami tegaskan lagi, kami punya keyakinan penuh terhadap Mr. Murdoch, tim manajemennya dan rencana suksesinya. Kalau perlu, kami akan menambah saham dengan hak voting"
Perlu dicatat, Murdoch adalah salah satu pentolan kelompok neokonservatif AS. Jaringan televisinya, Fox, adalah paling keras menyerukan invasi AS ke Irak pasca Tragedi 11 September.
Sikap seperti inilah agaknya yang membuat banyak kalangan di AS tetap menilai Alwaleed pro-AS, berbeda dari para pangeran dan pemuka Arab lainnya, walau yang dalam retorikanya kadang mengecam kebijakan AS di Timur Tengah. Beberapa media mengutip pernyataan Sang Pangeran, penggemar Diet Pepsi yang dilukiskan selalu mengenakan jas dan dasi, bukan gamis dan kafiyeh, jika berada di luar Timur Tengah itu ketika ditanya tentang investasinya yang anjlok menyusul teror terbesar yang terjadi di bumi Amerika: "Saya tak akan pernah menjual selembar pun saham perusahaan AS yang saya pegang hanya karena alasan politik".
Kendati demikian, bukan berarti Alwaleed tak akan melepas sama sekali asetnya kalau ada peluang yang lebih menarik di luar AS. Pada 2004, misalnya, dia melepas Plaza Hotel senilai US$ 675 juta. Di awal 2005, Kingdom Holdings membocorkan rencana untuk membeli atau membangun setidaknya 35 hotel lagi di Dubai, Mesir, Bahrain dan beberapa negara Arab lain dalam tiga tahun ke depan. Mereka juga akan melebarkan sayap ke Afrika, dimulai Mei 2005 dengan akuisisi lima hotel dan resor di Kenya.
Plaza Hotel sebetulnya merupakan salah satu tonggak penting perjalanan bisnis Alwaleed — dan mengandung kenangan tersendiri. Kenyataan bahwa Sang Pangeran melegonya menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang sentimental.
Ceritanya, pada Mei 1999, ketika menginap di hotel yang cantik itu dalam perjalanan bisnis ke New York, Buffett menulis surat buat Sang Pangeran. "You have restored the Plaza ot its former luster — indeed your managers have enabled it to surpass its previous heights — and I congratulate you".
Ketika Alwaleed merespons pujian tersebut, Buffett menulis kembali. "In Omaha, I known as the Alwaleed of America" — which is quite a compliment …
sumber : (fn/swa/ls/suaramedia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar