Syekh
Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani (bahasa Kurdi: Evdilqadirê
Geylanî, bahasa Persia: عبد القادر گیلانی,bahasa Urdu: عبد القادر آملی
گیلانی Abdolqāder Gilāni) (juga dilafalkan Abdulqadir Gaylani, Abdelkader,
Abdul Qadir, Abdul Khadir - Jilani, Jeelani, Gailani, Gillani, Gilani, Al
Gilani, Keilany) (470–561 H) (1077–1166 M) adalah orang Kurdi atau orang Persia
ulama sufi yang sangat dihormati oleh ulama Sunni. Syekh Abdul Qadir dianggap
wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua
India.Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai
Ghaus-e-Azam. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M
selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran.
Kelahiran,
Silsilah dan Nasab
Ada
dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al A'zham Syekh Abdul
Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470
H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat
kedua lebih dipercaya oleh ulama. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari
Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan
melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a
memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut :
"Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham.
Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang
ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah Keluarganya adalah Sebagai
berikut :
Dari
Ayahnya(Hasani):
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya
az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun
bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi
Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dari
ibunya(Husaini):
Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i
bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin
Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami
Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Karya
Imam
Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah
memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir,
dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."
Karya karyanya :
- Tafsir Al Jilani
- al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
- Futuhul Ghaib.
- Al-Fath ar-Rabbani
- Jala' al-Khawathir
- Sirr al-Asrar
- Asror Al Asror
- Malfuzhat
- Khamsata "Asyara Maktuban
- Ar Rasael
- Ad Diwaan
- Sholawat wal Aurod
- Yawaqitul Hikam
- Jalaa al khotir
- Amrul muhkam
- Usul as Sabaa
- Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal
yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam
masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia
membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Dasar
Pemikiran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Sam'ani
berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia
seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup
beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai
berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih
dari seratus ribu orang telah bertaubat."
Imam
Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul
Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui
hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul
Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap
sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan
orang beriman. Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama
beliau. Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada
seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak
kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara
riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi".
Syeikh
Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136,
" Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di
dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka
aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga
membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah,
dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil
Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi,
Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
4 golongan manusia menurut syekh abdul qadir al jailani :
1. Manusia yang tidak mempunyai lisan dan hati, senang
berbuat maksiat, menipu serta dungu. Berhati-hatilah terhadap mereka dan jangan
berkumpul dengannya, karena mereka adalah orang-orang yang mendapat siksa.
2. Manusia yang mempunyai lisan, tapi tidak mempunyai hati.
Ia suka membicarakan tentang hikmah atau ilmu, tapi tidak mau mengamalkannya.
Ia mengajak manusia ke jalan Allah Swt. tapi ia sendiri justru lari dari-Nya.
Jauhi mereka, agar kalian tidak terpengaruh dengan manisnya ucapannya, sehingga
kalian terhindar dari panasnya kemaksiatan yang telah dilakukannya dan tidak
akan terbunuh oleh kebusukan hatinya.
3. Manusia yang mempunyai hati, tapi tidak mempunyai ucapan
(tidak pandai berkata-kata). Mereka adalah orang-orang yang beriman yang
sengaja ditutupi oleh Allah Swt. dari makhluk-Nya, diperlihatkan kekurangannya,
disinari hatinya, diberitahukan kepadanya akan bahaya berkumpul dengan sesama
manusia dan kehinaan ucapan mereka. Mereka adalah golongan waliyullah (kekasih
Allah) yang dipelihara dalam tirai Ilahi-Nya dan memiliki segala kebaikan. Maka
berkumpullah dengan dia dan layanilah kebutuhannya, niscaya kamu juga akan
dicintai oleh Allah Swt.
4. Manusia yang belajar, mengajar dan mengamalkan ilmunya.
Mereka mengetahui Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah Swt. memberikan ilmu-ilmu
asing kepadanya dan melapangkan dadanya agar mudah dalam menerima ilmu. Maka
takutlah untuk berbuat salah kepadanya, menjauhi serta meninggalkan segala
nasihatnya.
Beberapa
kisah teladan perjalanan hidup Syeh Abdul Qadir Al-Jailani
Mengais
Sisa-sisa Makanan Karena Lapar
Al-Hafizh
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam kitabnya Dzailu Thabaqatil
Hanabilah,I:298, tentang biografi Imam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
rahimahullah (wafat tahun 561 H.), “Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku memunguti
selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan
yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku
tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan
yang terbuang untukku makan.
Suatu
hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan
daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi
suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku
mendapatkannya,maka aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka,
aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.
Aku
pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan yang
terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Hingga, aku tiba di
Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan
tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut
masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tib-tiba ada seorang pemida non Arab
masuk ke masjid. Ia membawa roti dan daging panggang. Ia duduk untuk makan.
Setiap kali ia mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka
mulutku ikut terbuka, karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku
mengingkari hal itu atas diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam,
“Disini hanya ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.”
Tiba-tiba
pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillah, makanlah wahai saudaraku.”
Aku menolak. Ia bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera
berbisik untuk tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun
mengiyakannya. Aku makan dengantidak nyaman. Ia mulai bertanya kepadaku, “Apa
pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang
yang tengah mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia
dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah
orangnya.”
Pemuda
itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tiba di
Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya
tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis.
Selama tiga hari ini aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu
yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku
mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang,
makanlah dengan tenang. Karena, ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu,
yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”
Aku
berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu telah menitipkan
kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta
maaf kepadamu.” Aku menenangkan dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa
makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Ia menerima dan pergi.”
Berguru
Kepada Para Ulama Besar
Syaikh
al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa
kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat
itu engkau akan berkata, "Kakiku ada di atas pundak para wali.”
Selain
berguru kepada Syaikh Hamdani, Abdul Qadir bertemu dengan Syaikh Hammad
ad-Dabbas. Iapun berguru pula kepadanya. Dari Syaikh Hammad, Abdul Qadir
mendapatkan ilmu Tariqah. Adapun akar dari tariqahnya adalah Syari’ah. Dalam
taiqahnya itu beliau mendekatkan diri pada Allah dengan doa siang malam melalui
dzikir, shalawat, puasa sunnah, zakat maupun shadaqah, zuhud dan jihad,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.
Kemudian
Syaikh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj,
Syaikh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena beliau telah tua, maka
pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada Abdul Qadir. Di situlah Syaikh Abdul
Qadir berdakwah pada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim.
Dan
dari Syaikh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima khirqah (jubah
ke-sufi-an). Khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari
beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah Syaikh Junaid al-Baghdadi,
Syaikh Siri as-Saqati, Syaikh Ma’ruf al Karkhi, dan sebagainya.
Kesaksian
Para Syaikh
Syaikh
Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syaikh Abdul Qadir.
Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syaikh Abdul Qadir
Jailani. Suatu ketika Syaikh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba
dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas
pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!
Setelah
ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata
Syaikh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang
wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada
saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas
pundak para Wali.”
Syaikh
Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syaikh Abdul Qadir. Ia adalah
salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di
majelisnya, ia berkata:
“Ada
8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah;
1)
Syaikh Ma’ruf al Karkhi,
2)
Imam Ahmad ibn Hanbal,
3)
Syaikh Bisri al Hafi,
4)
Syaikh Mansur ibn Amar,
5)
Syaikh Junaid al-Baghdadi,
6)
Syaikh Siri as-Saqoti,
7)
Syaikh Abdullah at-Tustari, dan
8)
Syaikh Abdul Qadir Jailani.”
Ketika
mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syaikh Muhammad ash-Shanbaki
bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami
belum mendengarnya. Siapakah Syaikh Abdul Qadir Jailani?”
Maka
Syaikh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir
di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb
al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya
“Risalatul Mu’awanah” menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syaikh
Abdul Qadir Jailani sebagai suri-teladannya.
Seorang
yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda.
- Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah.
- Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi.
- Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Dalam
hal ini, contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika beliau
sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa
yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik.
Ular itu membelit Syaikh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar
lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar
sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.Ini membuktikan bahwa
Syaikh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki
karamah.
Hafidz
al Barzali, mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah seorang ahli fiqih
dari madzhab Hanbali dan Syafi’i sekaligus, dan merupakan Syaikh (guru besar)
dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang
doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakur dan
berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis
keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya.”
Abdullah
al Jubba’i mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani mempunyai seorang
murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama
bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: “Kemana saja engkau
selama ini, ya Umar?” Dia menjawab: “Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di
sana aku berjumpa dengan 360 Syaikh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu
pun di antara mereka tidak mengatakan: “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah
Syaikh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah.”
Kisah
Yang terkenal
Pada
suatu malam ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah yang panjang. Tiba
muncullah seberkas cahaya terang. Bersamaa dengan itu, terdengar suara, “Wahai
Syaikh, telah kuterima ketaatanmu dan segala pengabadian dan penghambaanmu,
maka mulai hari ini kuhalalkan segala yang haram dan kubebaskan kau dari segala
ibadah”.
Abdul
Qadir Jailanai mengambil sandalnya dan melemparkan ke cahaya tersebut dan
menghardik “Pergilah kau syetan laknatullah!”.
Cahaya
itu hilang lalu terdengar suara “Dari manakah kau tau aku adalah syetan?,”
Syaikh
Abdul Qadir menjawab, "Aku tahu kau syetan adalah dari ucapanmu. Kau
berkata telah menghalalkan yang haram dan membebaskanku dari syariat, sedangkan
Nabi Muhammad SAW saja kekasih Allah masih menjalankan syariat dan mengharamkan
yang haram".
Syetan
berkata lagi, "Sungguh keluasan ilmumu telah menyelamatkanmu".
Syaikh
Abdul Qadir berkata, "Pergilah kau syetan laknattullah! Aku selamat karena
rahmat dari Alah Swt. bukan karena keluasan ilmuku".
Pertemuan
Jailani dengan al-Hamadani
Abu
Sa'id Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafi'i,
berkata, Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn
al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi
orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang bernama Yusuf
al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan
menghilang kapan saja sesuka hatinya.
Maka
aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syaikh Abdul Qadir
Jailani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, Apabila bertemu
dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya
tak akan ia ketahui.
Aku
menimpali, Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang
akan ia katakan.
Sementara
Syaikh Abdu-Qadir Jailani berkata, Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan
suatu pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan
menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan ilmu ketuhanannya.
Maka,
kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami
tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn
al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu namanya
sebelumnya, Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan pertanyaan
kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya
adalah ini! dan ia melanjutkan, Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu.
Kemudian
ia melihat kepadaku dan berkata, "Wahai hamba Allah, apakah kamu
menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu
adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih karena
tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.
Kemudian
ia memandang kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, mendudukkannya bersebelahan
dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata, "Wahai Abdul Qadir,
kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus
kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota
Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan
mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali.
Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih
tinggi karena keagungan kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu".
Ibn
Abi Asrun melanjutkan, Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan
Syaikh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia
mengatakan, "Kedua kakiku berada di atas leher semua wali". Syaikh
Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada
setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.
Berbeda
keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli
semua ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan
mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu
hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja Bizantium, yang kemudian memanggil
semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat dengannya. Ibn al-Saqa
sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban di
hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak
seperti anak-anak sekolahan.
Kepandaiannya
mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan
pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta
kepadanya, dan ia pun melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak
kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima
syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri, yaitu
Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka
melemparkannya ke luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta
makanan kepada setiap orang meski tak seorang pun memberinya.
sumber :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Syekh_Abdul_Qadir_Jaelani
- http://simpandihati.blogspot.com/2012/02/syeikh-abdul-qodir-al-jailani.html
- Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008 Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.